Langsung ke konten utama

Pertanyaan buat Rieke tentang Buruh Musiman?

Oleh Set Wahedi

Kaummudapergerakan-Surabaya. Bertemu dengan orang baru, kita akan mendapatkan hal-hal baru. Mungkin kata-kata itu yang saya alami ketika bertemu dengan Rieke Diah Pitaloka. Saya bertemu dengannya di rumah makan Ria Jl. Kombes M. Duryat, Surabaya. Pertemuan pada Senin, 14 Juli 2014, belum bisa dikatakan perkenalan. Pada pertemuan itu, posisi saya sebatas konsumen. Saya sebatas melihat, tahu, dan mendengar Rieke. Bukankah konsumen sebatas objek?

Pertemuan menjelang buka puasa –sekitar pukul 16.00 sampai 18.00- itu merupakan rangkaian perjalanan masa reses Rieke sebagai anggota komisi IX DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan ke Jawa Timur. Dalam pertemuan itu, Rieke memaparkan pertemuannya dengan Gubernur Jawa Timur, Kepala Disnaker Jawa Timur dan beberapa perwakilan buruh. Rieke juga membagikan selebaran kertas yang berisi desakannya agar pemerintah provinisi dan kabupaten segera mengintegrasikan program Jamkesda ke program BPJS secara menyeluruh. 

Rieke, dari cara menyampaikan ‘pidato’ atau materi presentasinya belum mengesankan karakter yang kuat untuk jadi politisi. Kata-kata Rieke belum mampu membangkitkan gairah pendengar untuk meyakini yang disampaikannya. Secara retorika, Rieke mampu ‘bermain’. Dalam pembawaan, Rieke tenang dan mampu menguasai ‘medan laga’. Tapi ‘sekuel’ Rieke sore itu hanya mengingatkan saya pada aktingnya dalam Bajaj Bajuri. Ups, ternyata lewat televisi ‘memperkenalkan’ Rieke pada saya sudah agak lama?

Kecuali BPJS, Rieke juga membahas persoalan Tunjangan Hari Raya (THR) dan undang-undang pekerja/buruh. Rieke, dalam selebarannya sebenarnya sudah menjelaskan beberapa poin yang menjadi modus perusahaan untuk melanggar pembayaran THR yang telah diatur dalam permenaker nomor 4 tahun 1994. Beberapa modus itu antara lain (1) Pekerja/buruh kontrak, outsourcing maupun harian lepas, tidak diberi THR akibat status kerjanya yang bukan pekerja tetap, (2) THR dibayarkan kurang dari ketentuan dengan alasan perusahaan tidak mampu, (3) Pekerja/buruh dalam proses perselisihan PHK sering tidak dibayarkan THR-nya, (4) THR diberikan tidak dalam bentuk uang tunai. Tapi THR dalam bentuk barang, (5) THR dibayarkan terlambat, (6) Jelang puasa dan lebaran buruh kontrak, outsourcing dan lepas diberhentikan, (7)THR dibayarkan dicicil, (8) THR dipotong karena tidak masuk kerja, (9) Buruh yang melaporkan pelanggaran THR diproses PHK, dan (10) Besaran THR yang nilainya sudah melebihi ketentuan dikurangi sepihak. 

Seusai Rieke menjelaskan tentang undang-undang ketenaga-kerjaan, saya pun teringat dengan nasib saudara-saudara buruh di desa saya, Desa Pinggir Papas, Kec. Kalianget, Kab. Sumenep, yang bekerja pada P.T. Garam. Sampai hari ini status mereka dapat dibilang harian lepas. Penyebabnya satu: masa kerja pertanian garam itu musiman. Mereka hanya aktif kerja kala musim kemarau. Tapi melihat sepak terjang mereka sebagai buruh utama yang menghasilkan garam, saya sebenarnya ingin bertanya: tidakkah ada perlakuan khusus untuk buruh musiman seperti buruh garam di P.T. Garam ini? Maksud saya begini, para buruh ini buruh utama. Mereka yang mengolah “tanah” dan menghasilkan garam. Setiap tahun mereka tetap bekerja pada P.T. Garam. Tapi karena pertanian garam hanya dikerjakan di musim kemarau, masa kerja mereka pun hanya di musiman. 

Lebih ringkasnya kira-kira begini, buruh P.T. Garam itu buruh “tetap’. Dalam arti setiap tahun setiap musim mereka tetap bekerja pada P.T. Garam. Akan tetapi karena faktor pertanian garam yang bergantung pada musim, mereka bekerja secara musiman. Saya berandai, andai pertanian garam dapat dikerjakan tapi bergantung musim, para buruh ini akan menjadi buruh tetap. Akan tetapi karena pertanian garam dikerjakan berdasarkan musim, maka mereka pun terkesan buruh musiman. Bertele-tele ya? 

Saya pun bingung menjelaskan secara gamblang tentang nasib buruh P.T. Garam ini. Apalagi mereka –seperti halnya masyarakat belum terdidik lainnya- hanya bisa pasrah. Padahal kalau dilihat lebih seksama, terutama disertai membaca buku Huub De Jong (saya lupa judulnya), system yang diterapkan P.T. Garam merupakan sisa peradaban kolonial zaman penjajah. Tapi kalau Rieke mau melihat sisi lain tentang per-buruh-an alangkah eloknya. Apalagi kalau sampai Jokowi-JK yang diusung partainya menang. He…

Untuk Rieke, pada pertemuan itu saya sebenarnya ingin bertanya, bisakah ada perlakukan khusus untuk buruh pada perusahaan musiman seperti P.T. Garam ini? Ataukah kita akan tetap berpegang teguh pada undang-undang ketenagakerjaan meski bagi sebagian rakyat Indonesia itu kadang mirip dengan “metode” kaum penjajah menghisap keringat kita?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Inilah Ciri Khas Kami: Baca Puisi

Oleh Nahdliya, mahasiswa PBSI 2015 asal Pantura Jawa Helmi Yahya? Begitulah penuturannya saat aku pertama kali mengenalnya. Pertama kali kami berjumpa dan bertatap muka, tepatnya saat aku melewati masa-masa ospek di lingkup Prodi PBSI. Aku sempat heran dan meragukan nama aslinya. Apakah benar seperti itu atau hanya sebagai dalih agar dia tenar di kalangan maba. Oh hanya Tuhan yang tahu mengenai namanya. Dia memperkenalkan diri pada kami sebagai wakil ketua HMP saat itu. Aku sempat berpikir keras, mencoba memahami jabatan yang dipegangnya. Bukan meragukan, tapi lebih ke arah tidak percaya. Setahuku dia konyol, lucu, gokil dan entah apa lagi. Segalayang berbau komedi melekat pada dirinya. Itu yang membuat aku tidak percaya dengan jabatan wakil ketua HMP yang dipegangnya. Di awal pertemuan dengan suasana lingkungan perguruan tinggi, aku lebih memilih acuh tak acuh tentang kak Helmi. Entah dia mau menjadi apaatau menjabat apa. Beberapa hari mengikuti ospek, aku mulai mengerti sisi

Pak Anu

O leh Dwi Ajeng Kartini Selama kuliah dua semester -dari semester satu sampai semester dua- baru kali ini aku bertemu dan diajar oleh dosen unik. Dikatakan unik karena cara mengajarnya santai dan mudah dipahami. Cara menyampaikan materi sangatlah berbeda dengan dosen lain yang cenderung membuat tegang. Hehe. Beliau adalah Bapak Salamet Wahedi. Sebelum ‘mengenal’nya, kami sudah mengetahuinya. Beliau adalah dosen Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Desas-desisnya, beliau termasuk dosen killer , tentu aku langsung kaget. Aku takut ketika mendengar, beliau dosen yang killer . Aku takut, beliau di kelas sangat kaku, membosankan, dan tentu -saja bicara dosen killer - pelit nilai. Jujur saja, saat petama melihatnya memang benar terlihat seperti dosen killer. Aku sempat bingung karena pertama masuk, beliau duduk hanya diam. Aku sampai berpikir, sebenarnya dosen ini sedang marah atau memang gayanya seperti ini? Dengan tatapan mata yang sinis dan tidak mau menatap mahasiswa,

Manis Pahit Berorganisasi

Oleh Rohmatur Rizqiyah        Matahari memancarkan sinarnya ke celah-celah jendela kamar. Suara kokok ayam sedari tadi menyeruak di telinga. Alarm hand-phone beberapa kali berusaha membangunkan saya. Itu semua sia-sia, sepertinya pagi ini mata saya tidak mau bersahabat dengan saya, atau mungkin mata ini sudah mulai merasakan lelah karena setiap hari saya ajak begadang demi acara final ini. Acara final? Ya, ini adalah acara puncaknya HMP PBSI sekaligus progam kerja kami yang terakhir. Acara ini mungkin berbeda dengan acara-acara lainnya. Dalam acara ini, kami juga mengundang beberapa SMAN di Madura untuk berpartisipasi. Nama acara ini adalah Pekan Sastra Pelajar Se-Madura yang disingkat dengat PSPS. Acara ini berupa lomba baca puisi antarSMA se-Madura.         Acara ini adalah acara pertama tanpa kehadiran ketum PBSI yaitu Helmi Yahya. Dia sedang menghadiri acara Ikatan Mahasiwa Bahasa dan Sastra Indonesia se-Indonesia (IMABSII) yang bertempat di Bali. Meskipun tidak bisa hadi